Thursday, August 11, 2011

Baduy Dalam Apa yang Boleh dan Apa Yang Tidak

detik_058jpg-
Anak-anak dari Kampung Cipaler, Baduy Luar yang mengenakan baju semacam kebaya berwarna cokelat.

Foto selengkapnya


Banten - Setelah pada malam harinya beperjalanan selama 3 jam jalan kaki dari Nangerang, pagi ini (10/10/10) saya terbangun di Cibeo dengan perasaan bahagia. Kenapa? Ada perasaan excited berlebih karena ini saatnya saya bisa mencoba hidup ala masyarakat Baduy yang begitu sederhana dan apa adanya. Sebagai awal, pagi ini dimulailah beberapa ritual yang boleh dilakukan di kampung Baduy Dalam; berkegiatan di sungai.
Pertama, soal mandi. Sejak sebelum ada niatan ke kampung ini pun, saya sudah tahu kalau mandi, sikat gigi, atau cuci-cuci tidak boleh menggunakan yang namanya sabun, pasta gigi, dan sebangsanya itu. Tapi, yang saya tidak tahu adalah perihal tata cara berkegiatan antara laki-laki dan perempuan di sungai.
Sedari awal saya berpikir, bagaimana bisa mandi di sungai bertelanjang diri tanpa malu dilihat orang yang lain jenis kelamin. Lalu saya menduga-duga, apakah memang bertelanjang diri di depan yang berlainan jenis kelamin merupakan hal yang sudah sangat biasa di Baduy? Tapi lalu kini saya tidak perlu lagi menduga-duga, karena saya ada di Baduy. Maka, saya tanya pada Ibu Surjaya (pemilik rumah tempat saya tinggal selama di Cibeo) mengenai hal ini. Jawabnya, kegiatan antara laki-laki dan perempuan di sungai itu terpisah. Maksudnya, para lelaki biasa mandi di bagian sungai sisi ini, lalu para perempuan akan mengambil tempat di sisi yang satunya lagi. Jadi, kegiatan vital itu murni terpisah.

Selesai bebersih badan seadanya di sungai (tidak bisa disebut mandi), saya ditemani Pak Erwin (pendamping lokal selama di Cibeo), berkeliling kampung. Dengan segera, pengetahuan unik kedua saya dapat. Kali ini, mengenai puun (pemimpin adat). Saya pikir, puun akan menjadi "duta" untuk menyambut para tamu yang datang ke wilayahnya. Saya pikir lagi, ketika berada di kampung Baduy, kita akan dianjurkan untuk berkunjung ke rumah puun dan bersilaturahmi. Tapi, tidak begitu kenyataannya. Rumah puun sama sekali tidak boleh dikunjungi. Bahkan, untuk bisa melihatnya saja, kita harus berdiri di jarak tertentu, tidak boleh terlalu dekat, tidak boleh melewati batas. Ketika saya tanya Pak Erwin, ia hanya menjawab, "Ini termasuk peraturan adat." Dan, katanya pula, hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat atau bertemu dengan puun, bahkan di saat-saat tidak disengaja. Alhasil, selama tiga hari dua malam di Cibeo, saya sama sekali tidak bertemu puun Cibeo. Padahal, menurut warga Cibeo sendiri, puun sama seperti rakyat biasa, yang juga ke ladang. Hanya saja, sebagian besar waktunya adalah pergi ke kota untuk mengurusi urusan kampung. Ah ya, pantas...
Menjelajahi Cibeo ini tidak bisa dibilang membosankan. Meski hanya terdiri dari kurang dari 100 rumah, kampung ini punya faktor ada-ada-saja yang selalu seru. Bahkan, kesunyian kampung kala siang bisa menjadi pertanyaan bagus dan akan juga dijawab dengan jawaban yang menarik pula. Setiap kampung di tiga kampung Baduy Dalam (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik) punya kondisi yang sama setiap harinya. Sepanjang hari, kampung mereka kosong. Semua warga pergi ke ladang, mulai dari lelaki sampai anak-anak. Biasanya, yang tertinggal di kampung hanya beberapa lelaki muda yang kedapatan tugas ronda atau menjaga kampung. Biasanya, berkisar 3-8 orang.
Setelah obrol-obrol sedikit dengan kumpulan lelaki yang sedang ronda, kami berjalan lagi. Hal selanjutnya yang saya baru tahu adalah soal ternak di Baduy Dalam. Bahwa ternyata ada beberapa hewan yang boleh hidup di kampung-kampung di Baduy Dalam, dan ada yang tidak. Ada pula yang boleh dimakan, dan ada yang tidak. Hewan-hewan yang boleh dipelihara adalah ayam, anjing, dan kucing. Sementara yang tidak boleh adalah kerbau, sapi, dan kambing. Lalu, untuk yang boleh dimakan adalah ayam atau ikan. Sisanya yang tadi saya sebutkan dilarang. Yang menarik soal makanan adalah kasus singkong. Di Baduy Dalam, singkong tidak boleh ditanam, tapi ia boleh ditanam, hanya saja bahannya (singkongnya) dibeli dari luar Baduy Dalam. Aneh, tapi ya begitulah.
Yang menguntungkan soal makanan saat saya berkunjung ialah saat itu sedang musim duren. Jadi, saya bisa makan duren gratis yang luar biasa manis karena matang di pohon. Yummm... Di luar itu, masyarakat Cibeo itu punya camilan yang enak amat sangat, yaitu pisang goreng kering yang entah bagaimana bisa jadi serupa keripik; garing dan manis. Dan, air putih yang mereka masak masih dengan menggunakan kayu bakar, rasanya bisa jadi rasa bambu. Unik.
Ah, kenapa jadi bicara terus soal makanan? Mari lanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, saya bertanya kepada Pak Erwin soal penampilan dan pakaian khas Baduy Dalam. Jika berpapasan dengan laki-laki Baduy Dalam, yang paling menonjol adalah koncer (simpul ikat kepala untuk lelaki muda) atau telekung (simpul ikat kepala untuk lelaki paruh baya) yang terikat di kepala. Tapi, coba perhatikan lebih seksama apa yang ada di balik ikat kepala mereka. Ya, semua laki-laki di Baduy Dalam berambut panjang. Sejatinya, mereka tidak diperkenankan untuk memotong rambut, sebagai salah satu peraturan adat yang harus dipatuhi.
Nah, mengenai pakaian, hal yang saya tahu adalah bahwa pakaian Baduy Dalam adalah harus berwarna putih dan Baduy Luar identik dengan pakaian berwarna hitam. Kenyataannya tidak "sehitam-putih" itu. Pak Erwin mulai bercerita. Masyarakat di kampung-kampung Baduy Dalam mengenakan kain katun berwarna putih atau hitam kebiruan bernama jamang, dengan bawahan berupa kain hitam tenunan bermotif garis yang disebut samping aros. Untuk ikat kepala, yang boleh digunakan adalah romal berwarna putih atau hitam. Sementara di Baduy Luar, yang banyak digunakan adalah celana poleng (celana pendek berwarna hitam) dan atasan batik khas Baduy Luar berwarna biru dengan macam-macam motif, seperti hariang, genjer, memble, atau merong. Tapi, di luar celana poleng dan batik, sudah banyak pula orang-orang Baduy Luar yang telah mengenakan kaus modern, atau untuk wanita, mengenakan tank top katun serta kebaya berwarna-warni, misalnya cokelat tua dan biru tua. Saya mengangguk-angguk kagum.
Semua hal memang sudah lebih longgar di Baduy Luar. Setidaknya, selalu lebih longgar daripada Baduy Dalam. Dan, sedikit demi sedikit kelonggaran itu juga akan mampir ke Baduy Dalam, menurut saya. Tapi, dari sekian banyak aturan, aturan adat yang paling membuat saya tertegun adalah masalah listrik dan pendidikan. Lepas dari segala manfaatnya yang bejibun, dua hal yang bagi masyarakat di luar Baduy adalah hal yang vital dan fatal tersebut malah dilarang oleh aturan adat. Alhasil, masyarakat Baduy lebih memilih untuk hidup dalam gelap, dalam kesederhanaan, dan dalam kebutaan terhadap ilmu. Seperti ketika di akhir berkeliling kampung, kegelapan sama sekali sudah tidak bisa dibendung. Saatnya kami pulang ke rumah Pak Surjaya.
Lepas dari segala peraturan adat yang saya bayangkan begitu berat dan mengikat, saya ingin sekali angkat topi tinggi-tinggi atas ketegasan sikap mereka yang memilih menjauhkan diri dari konsep "modern". Betapa mereka kelihatan bahagia-bahagia saja meski hidup dalam kesederhanaan. Besok mari kita jalan-jalan lagi.

No comments:

Post a Comment